Tuesday, March 10, 2015

RANTING KEDUA "HUJAN"



Hujan yang turun begitu saja seaakan memantraiku untuk terus memandang rintiknya dan berbisik “kenanglah apa yang ingin kau kenang”. Membahagiakan sekaligus melukaiku dalam satu watu yang besamaan. Hujan memeluk hatiku hinggaa airmata mengalir hanggat, mengahangatkan sekaligus perih. Aku tahu hujan begitu mencintaiku juga begitu ingin memilikiku. Ia hadir di saat saat aku terjatuh dan menjatuhkan. Hujan, mungkin jika dapat dijelaskan komposisinya maka lima persennya adalah air dan 95% adalah kenangan.

24 Januari 2015 – Hujan turun ketika itu. Banyak duka sebelumnya. Namun aku tertawa disampingnya. Malam dibulan yang indah dimana hujan selalu turun sepanjang hari.  Tidak ada yang istimewa kecuali kelahiranku 25 tahun lalu, tidak ada lilin, tidak ada kado juga tanpa tart. Bersabar dibawah lampu neon yang menerangi. Mata ini masih begitu kuat karena hujan yang selalu dipandangannya. Tidak ada luka, duka, karena berbekal percaya bahwa ia dan hujan akan selalu bersama. Dia, sesosok pria yang tidak takut hujan kukenal begitu sahaja hingga mata dan telinga menutup kemampuannya untuk menyempurnakan keberadaanya. Hujan masih belum berhenti, sama dengan kekuatanku sebagai wanita. Memejamkan mata dan selalu berkata bahwa semua baik-baik saja, pria bersahaja menganguk saja hingga akhir cerita. Berfikir yang baik, berbicara yang baik, berlaku yang baik maka yang datang adalah yang baik-baik, pria bersahaja mengucapkannya berulangkali tanpa memandang mata yang menahan air mata.

Hujan menari minggu ini. Ini panggilan yang ke-100 dan pria bersahaja masih mengacuhkannya. Sama dengan hujan yang tidak peduli padaku. Kamu siapa? Kamu tidak berguna. Aku punya sahabat, orang tua, saudara yang selalu perhatian padaku. Kamu ada tapi tidak tahu ceritaku. Menanar mata mendengarnya sementara telinga berusaha kuat untuk terus mendengar yang seharunya ia tidak dengar dari pria bersahaja yang selalu ia tutupi dari keburukan. Begitukah caraku mencintainya? Atau hanya hati ini yang merasakannya? Luka macam apa ini? Kenapa begitu peri dan dalam? Waktu berhenti ketika itu, namun hujan masih terus turun mentertawakan mata yang menatapnya kosong. Inikah yang disebut berjuang? Hanya untuk inikah ia berjuang selama ini? Tidak tahukah engkau wahai pria bersahaja tentang luka ini? Inikah karma? Inikah azab tuhan itu? Engkaukah peri jahat yang menyihirnya untukku atau engkaukah penyihir hitam yang mengutukku? Atau justru peri yang mengingatkanku untuk selalu berbuat baik dan mengujiku dengan hal semacam ini? Semua berakhir dibawah hujan yang tetep bisu dengan rintinya yang memelukku.  

No comments:

Post a Comment