Hujan yang
turun begitu saja seaakan memantraiku untuk terus memandang rintiknya dan
berbisik “kenanglah apa yang ingin kau kenang”. Membahagiakan sekaligus
melukaiku dalam satu watu yang besamaan. Hujan memeluk hatiku hinggaa airmata
mengalir hanggat, mengahangatkan sekaligus perih. Aku tahu hujan begitu
mencintaiku juga begitu ingin memilikiku. Ia hadir di saat saat aku terjatuh
dan menjatuhkan. Hujan, mungkin jika dapat dijelaskan komposisinya maka lima
persennya adalah air dan 95% adalah kenangan.
24 Januari 2015
– Hujan turun ketika itu. Banyak duka sebelumnya. Namun aku tertawa disampingnya.
Malam dibulan yang indah dimana hujan selalu turun sepanjang hari. Tidak ada yang istimewa kecuali kelahiranku
25 tahun lalu, tidak ada lilin, tidak ada kado juga tanpa tart. Bersabar dibawah
lampu neon yang menerangi. Mata ini masih begitu kuat karena hujan yang selalu
dipandangannya. Tidak ada luka, duka, karena berbekal percaya bahwa ia dan
hujan akan selalu bersama. Dia, sesosok pria yang tidak takut hujan kukenal
begitu sahaja hingga mata dan telinga menutup kemampuannya untuk menyempurnakan
keberadaanya. Hujan masih belum berhenti, sama dengan kekuatanku sebagai
wanita. Memejamkan mata dan selalu berkata bahwa semua baik-baik saja, pria
bersahaja menganguk saja hingga akhir cerita. Berfikir yang baik, berbicara
yang baik, berlaku yang baik maka yang datang adalah yang baik-baik, pria
bersahaja mengucapkannya berulangkali tanpa memandang mata yang menahan air
mata.
Hujan menari
minggu ini. Ini panggilan yang ke-100 dan pria bersahaja masih mengacuhkannya. Sama
dengan hujan yang tidak peduli padaku. Kamu siapa? Kamu tidak berguna. Aku punya
sahabat, orang tua, saudara yang selalu perhatian padaku. Kamu ada tapi tidak
tahu ceritaku. Menanar mata mendengarnya sementara telinga berusaha kuat untuk
terus mendengar yang seharunya ia tidak dengar dari pria bersahaja yang selalu
ia tutupi dari keburukan. Begitukah caraku mencintainya? Atau hanya hati
ini yang merasakannya? Luka macam apa ini? Kenapa begitu peri dan dalam? Waktu berhenti
ketika itu, namun hujan masih terus turun mentertawakan mata yang menatapnya
kosong. Inikah yang disebut berjuang? Hanya untuk inikah ia berjuang selama
ini? Tidak tahukah engkau wahai pria bersahaja tentang luka ini? Inikah karma? Inikah
azab tuhan itu? Engkaukah peri jahat yang menyihirnya untukku atau engkaukah
penyihir hitam yang mengutukku? Atau justru peri yang mengingatkanku untuk
selalu berbuat baik dan mengujiku dengan hal semacam ini? Semua berakhir
dibawah hujan yang tetep bisu dengan rintinya yang memelukku.
No comments:
Post a Comment